Oleh Rahma Faradhita
BANTEN, (gerbangbanten.com) – Pengaturan dalam Pasal 252 KUHP mengenai praktik santet menimbulkan ketegangan baru dalam sistem hukum nasional. Pasal tersebut memungkinkan pemidanaan terhadap orang yang mengklaim memiliki kekuatan gaib dan menawarkan jasa untuk mencelakakan orang lain.
Masalah utamanya bukan pada tujuan negara melindungi warga, tetapi pada mekanisme pembuktian yang hampir mustahil dilakukan secara ilmiah. Hal inilah yang membuat ketentuan tersebut dianggap membuka ruang kriminalisasi berbasis tuduhan, bukan bukti nyata, dan dikhawatirkan memunculkan kembali budaya main hakim sendiri.
Selain pasal santet, KUHP baru juga menuai kritik pada aturan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan ini dipandang rawan digunakan sebagai alat membungkam kritik publik karena sifatnya menurunkan standar kebebasan berekspresi. Padahal, dalam negara demokrasi, kritik terhadap penguasa merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi. Jika norma tersebut diterapkan tanpa kontrol yang ketat, maka akan sulit membedakan antara kritik konstruktif dengan penghinaan, sehingga potensi penyalahgunaannya sangat besar.
Kontroversi lain muncul pada pasal yang mengatur kohabitasi atau “kumpul kebo” karena pelaporannya bersifat delik aduan dari keluarga. Meskipun negara beralasan ingin menjaga moral sosial, ketentuan ini justru berpotensi menambah konflik internal keluarga dan membuka ranah privat warga negara ke ruang pidana. Hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium, bukan alat mengontrol pilihan hidup yang bersifat personal selama tidak menimbulkan kerugian publik yang nyata.
Menurut saya, KUHP baru seharusnya diarahkan untuk memperkuat keadilan dan menjamin kenyamanan hukum bagi masyarakat, bukan menciptakan ruang abu-abu yang mempermudah kriminalisasi. Beberapa pasal, terutama pasal santet dan pasal penghinaan Presiden, perlu ditinjau ulang agar tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Negara memang wajib melindungi warga dari kejahatan, tetapi perlindungan tersebut harus disertai asas pembuktian yang jelas, pengawasan ketat, dan tidak mengekang kebebasan publik. Dengan begitu, KUHP baru dapat berjalan tidak hanya sebagai instrumen kekuasaan, tetapi benar-benar sebagai alat keadilan.






