Oleh Siti Nurhalimah
(Mahasiswa FISIP Ilmu Komunikasi Untirta Serang)
Pendahuluan
Belum genap 1 tahun sejak dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto membuat kejutan dengan memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan (2015-2016), terkait kasus dugaan korupsi impor gula. Keputusan yang telah disetujui oleh DPR pada Kamis (31/7) ini, memicu berbagai tanggapan dari publik. Meski abolisi merupakan hak prerogatif Presiden yang diatur konstitusi, publik mempertanyakan: apakah langkah ini benar-benar untuk rekonsiliasi politik atau justru memperlihatkan krisis supremasi hukum?
Kasus ini menjadi penting karena menyentuh dua hal mendasar dalam demokrasi Indonesia: kebutuhan akan stabilitas politik pasca-pemilu dan kewajiban negara untuk menjunjung hukum tanpa pandang bulu.
Hukum yang sah, Politik yang menang
Secara formal, Presiden berhak mengajukan abolisi dengan persetujuan DPR. Mekanisme ini sah secara hukum. Namun, pemberian abolisi kepada tokoh politik sekelas Tom Lembong memunculkan kesan bahwa kepentingan politik lebih diutamakan daripada kepastian hukum. Ahli hukum pidana dari Universitas Riau Erdianto Effendi, ketika dihadirkan dalam sidang kasus korupsi impor gula di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (26/9/2025), menjelaskan abolisi yang diberikan Presiden Indonesia Prabowo Subianto kepada Tom Lembong sedikit berbeda dengan teori hukum yang berlaku pada umumnya. Menurutnya secara teori hukum, pemberian abolisi itu berarti menghapus proses dan akibat hukum yang ditimbulkannya. Sedangkan dalam kasus ini, hanya Tom Lembong yang mendapatkan abolisi dari Presiden.
Rekonsiliasi Politik atau Krisis Hukum?
Maka sangat wajar jika langkah ini dipandang sebagai upaya merangkul lawan politik. Beberapa anggota DPR mendukung langkah Presiden, menyebutnya sebagai “jalan rekonsiliasi” demi stabilitas nasional. Namun, kritik tajam datang dari kalangan akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebut abolisi ini “mengancam konsistensi penegakan hukum dan melemahkan kepercayaan publik terhadap peradilan.” Mereka menekankan bahwa rekonsiliasi politik seharusnya tidak dibangun dengan mengorbankan supremasi hukum.
Bagi kelompok yang mendukung, abolisi Tom adalah strategi politik cerdas untuk meredakan konflik antar-kubu, membangun rekonsiliasi, dan memperkuat stabilitas pemerintahan. Namun, bagi kelompok yang kritis, ini merupakan contoh nyata krisis supremasi hukum, di mana keadilan tidak berlaku sama untuk semua orang.
Suara dari Masyarakat Sipil
Kekhawatiran terbesar dari masyarakat sipil adalah soal preseden berbahaya yang ditinggalkan oleh abolisi Tom Lembong. Jika penghapusan kasus hukum terhadap elite politik menjadi pola yang berulang, maka prinsip equality before the law akan kehilangan makna.
Dalam siaran persnya, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menegaskan:
“Ketika hukum tunduk pada politik, maka rakyat kecil kehilangan pegangan. Inilah awal dari krisis supremasi hukum.”
Pernyataan ini sejalan dengan kritik yang selama ini dilontarkan organisasi masyarakat sipil lainnya, seperti KontraS dan ICJR (Institute for Criminal Justice Reform). Mereka menilai bahwa penggunaan hak prerogatif Presiden dalam bentuk abolisi harus dilakukan secara ketat dan transparan, bukan justru dimanfaatkan sebagai instrumen politik.
KontraS menyebut bahwa praktik semacam ini hanya memperlebar jurang ketidakadilan:
“Keadilan bagi warga negara biasa kerap diabaikan, sementara elite politik bisa menggunakan jalur politik untuk menghindari jeratan hukum. Ini jelas memperlebar jurang ketidakadilan,” ujar Laila Kusuma, Direktur Eksekutif KontraS.
Sementara itu, ICJR menyoroti dampak jangka panjang dari keputusan semacam ini. Dalam catatan mereka, abolisi yang diberikan tanpa pertimbangan hukum yang kuat akan membangun preseden buruk, di mana pejabat atau tokoh politik bisa menjadikan jalur politik sebagai jalan pintas keluar dari jerat hukum.
Selain lembaga, suara masyarakat sipil juga muncul dari akademisi dan aktivis. Mereka menekankan bahwa negara hukum bukan hanya soal legalitas formal, tetapi juga soal kepercayaan publik terhadap sistem keadilan. Ketika publik melihat hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara elite bisa “berdamai” dengan kekuasaan, maka yang runtuh bukan sekadar norma hukum, tetapi legitimasi negara itu sendiri.
Seorang aktivis muda dari koalisi mahasiswa hukum bahkan menyebut abolisi ini sebagai bentuk “pembusukan hukum dari dalam”:
“Kalau elite bisa mendapat abolisi dengan alasan rekonsiliasi, sementara rakyat kecil harus menghadapi proses panjang yang mahal dan rumit, maka sebenarnya negara sedang memberi pesan: hukum itu laksana kelas sosial, yang kaya dan berkuasa punya jalan pintas, yang miskin semakin tertindas. Seperti kegusaran tokoh pendidikan Brasil Paolo Freire dengan unggahannya “Semakin rendah kesadaran politik rakyat, semakin mudah mereka dimanipulasi oleh mereka yang tidak ingin kehilangan kekuasaannya”.
Respon Tom Lembong di Mata Najwa
Kontroversi ini semakin ramai setelah Tom Lembong hadir dalam program Mata Najwa
bersama Najwa Shihab. Najwa menanyakan dengan lugas:
“Publik melihat abolisi ini bukan sekadar keputusan hukum, tapi keputusan politik. Banyak yang bilang ini menunjukkan hukum bisa tunduk pada kepentingan politik. Apa tanggapan Anda?” Ujar Najwa Shibab
“Saya paham pandangan itu. Abolisi ini memang keputusan politik sekaligus hukum. Tapi bagi saya pribadi, ini menutup semua proses hukum yang sebelumnya menjerat saya. Jadi bab panjang itu selesai.” Ujar Tom Lembong
Najwa kemudian menyinggung soal rasa keadilan:
“Apakah Anda merasa keputusan ini adil? Mengingat banyak orang yang mungkin tidak mendapat perlakuan serupa ketika menghadapi kasus hukum.” Ujar Najwa Shihab
Tom menanggapi dengan reflektif:
“Saya sadar mungkin sebagian pendukung saya kecewa atau kesal mendengarnya. Saya bisa memahami itu. Tapi saya berharap pengalaman ini bisa jadi pelajaran. Kita harus membenahi sistem hukum kita supaya lebih konsisten, tidak pilih kasih, dan bisa memberikan rasa keadilan untuk semua.” Ujar Tom Lembong
Bahaya Preseden
Abolisi ini menegaskan tarik-menarik antara rekonsiliasi politik dan supremasi hukum. Jika dianggap sebagai jalan keluar cepat dari konflik politik, maka akan ada lebih banyak elite yang berharap mendapat perlakuan serupa. Indonesia pun terancam berubah dari negara hukum menjadi negara kesepakatan politik.
1. Normalisasi Intervensi Politik
Jika abolisi terhadap tokoh politik dianggap wajar, maka mekanisme hukum di Indonesia akan selalu rawan intervensi. Aparat penegak hukum bisa kehilangan independensinya karena setiap kasus besar berpotensi diselesaikan di meja politik, bukan di ruang pengadilan. Dengan kata lain, rule of law digantikan oleh rule of deal.
“Abolisi Tom Lembong membuka celah impunitas politik. Hari ini Tom, besok bisa tokoh lain. Jika dibiarkan, pengadilan kehilangan wibawa, karena semua bisa selesai lewat tanda tangan politik,” ujar Prof. Ahmad Ridwan, pakar hukum tata negara UI.
2. Erosi Kepercayaan Publik
Preseden ini juga berbahaya bagi kepercayaan publik. Rakyat kecil yang selama ini menjalani proses hukum panjang dan melelahkan akan melihat bahwa hukum ternyata bisa dipercepat, dipotong, atau bahkan dihapuskan jika pelakunya adalah elite politik. Akibatnya, muncul rasa ketidakadilan yang menumpuk, dan pada akhirnya menggerus legitimasi negara hukum.
Laila Kusuma dari KontraS mengingatkan:
“Krisis keadilan tidak lahir seketika, ia lahir dari serangkaian keputusan yang mengabaikan rakyat kecil dan melindungi elite. Abolisi ini adalah salah satu contohnya.”
Penutup
“Udang di balik abolisi” bukan hanya soal penyelesaian kasus Tom Lembong, tetapi menyangkut arah demokrasi Indonesia. Jika praktik ini terus dinormalisasi, maka hukum akan kehilangan maknanya, dan politik akan selalu menjadi panglima.
Rekonsiliasi sejati seharusnya dibangun di atas keadilan hukum dan transparansi, bukan kompromi elite yang melemahkan institusi hukum.






